Sejak diundangkannya UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan, jasa pendidikan yang semula bukan objek pajak diklasifikasikan sebagai objek pajak yang mendapat fasilitas pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Pada tahun 2025, jasa pendidikan yang saat ini dibebaskan dari PPN, direncanakan akan dikenakan PPN yang terbatas pada jasa pendidikan dengan bayaran “mahal” atau dikategorikan “mewah” dengan tarif 5-12%.
Hal ini disampaikan oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani, dalam konferensi pers terkait pengumuman kenaikan tarif PPN menjadi 12% (Senin, 16/12/2024). Dikutip dari materi paparan Kementerian Keuangan, PPN multitarif akan diterapkan untuk jasa pendidikan. Jasa pendidikan dengan pembayaran lebih dari Rp120 juta sampai dengan Rp600 juta per tahun akan dikenakan PPN dengan tarif 5%. Untuk pembayaran lebih dari Rp600 juta per tahun, PPN dikenakan dengan tarif 12%.
Ia menjelaskan bahwa kelompok barang yang masuk dalam golongan yang dikonsumsi oleh kelompok paling kaya akan dikenakan PPN. “Kategori barang-barang yang memang dikategorikan sebagai mewah premium dan dikonsumsi terutama untuk kelompok yang paling mampu akan dikenakan PPN, (misalnya) jasa pendidikan yang premium yang yang dalam hal ini pembayaran uang sekolahnya bisa mencapai ratusan juta…,” jelasnya.
Sri Mulyani menyampaikan bahwa saat ini insentif PPN justru banyak dinikmati oleh kelas menengah dan kelas atas. Dari estimasi APBN 2025 serta data Survei Sosial Ekonomi Nasional Maret 2023, insentif PPN sebesar Rp91,9 T dari Rp265,6 T dinikmati oleh kalangan desil 10 atau rumah tangga dalam kelompok 10% terkaya di Indonesia. Untuk jasa pendidikan, insentif PPN Dibebaskan diestimasikan sebesar Rp26 T.
Dengan demikian, Sri Mulyani menjelaskan perlu dilakukan penyesuaian kebijakan dalam insentif pembebasan PPN. Barang-barang yang dikonsumsi oleh kalangan atas perlu dikenakan PPN.